
Untuk mendorong kewirausahaan di kalangan mahasiswa, Program Studi Arkeologi Universitas Gadjah Mada (UGM) telah mengembangkan mata kuliah “Arkeopreneurship.” Mata kuliah ini wajib diikuti mahasiswa Prodi Arkeologi, bertujuan untuk membekali mahasiswa dengan keterampilan yang diperlukan agar dapat mandiri dan mengembangkan potensi arkeologis yang terdapat di lingkungan mereka. Program ini dirancang untuk sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama berfokus pada penghapusan kemiskinan, pendidikan untuk keberlanjutan, penguatan kapasitas, dan promosi kewirausahaan.
Kelas Arkeopreneurship ini dibimbing oleh Sektiadi dan Aditya Revianur, berpuncak dalam sebuah bazar yang diadakan pada 12 Desember 2024, di Gedung Margono. Acara ini berfungsi sebagai aplikasi praktis dari konsep yang dipelajari sepanjang perkuliahan, memungkinkan mahasiswa untuk menunjukkan kreativitas dan semangat kewirausahaan mereka. Sebelas kelompok mahasiswa berpartisipasi, masing-masing bersaing untuk menciptakan konsep inovatif, mengembangkan produk, dan mempresentasikannya kepada publik.
Bazar tersebut menampilkan berbagai produk dan layanan, semua dibuat oleh mahasiswa sebagai bagian dari mata kuliah ini. Dari kerajinan tangan yang mencerminkan warisan arkeologis lokal hingga lokakarya edukatif yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang arkeologi, acara ini menyoroti potensi arkeologi sebagai alat untuk pengembangan komunitas dan pengentasan kemiskinan. Dengan terlibat dalam kegiatan kewirausahaan semacam ini, mahasiswa tidak hanya meningkatkan pengalaman belajar mereka tetapi juga berkontribusi pada ekonomi lokal.
Salah satu tujuan utama dari mata kuliah Arkeopreneurship adalah menanamkan rasa tanggung jawab di antara mahasiswa terhadap warisan budaya mereka. Dengan mendorong mereka untuk berpikir kritis tentang bagaimana memanfaatkan sumber daya arkeologis secara berkelanjutan, program ini sejalan dengan tujuan SDG tentang pendidikan untuk keberlanjutan. Mahasiswa diajarkan untuk mengenali nilai warisan mereka dan bagaimana hal itu dapat diubah menjadi peluang bisnis yang menguntungkan bagi diri mereka sendiri dan komunitas mereka.
Para pengajar menekankan pentingnya penguatan kapasitas dalam mata kuliah ini. Mereka memberikan mahasiswa alat dan pengetahuan yang diperlukan untuk dapat mengembangkan kewirausahaan di bidang arkeologi. Hal ini termasuk memahami permintaan pasar, mengembangkan rencana bisnis, dan memasarkan produk mereka secara efektif. Keterampilan yang diperoleh dari mata kuliah ini sangat berharga, karena mempersiapkan mahasiswa untuk karir di masa depan di bidang arkeologi dan bidang terkait.
Lebih jauh lagi, bazar tersebut berfungsi sebagai platform bagi mahasiswa untuk berinteraksi dengan publik, mendorong dialog tentang pentingnya arkeologi dalam masyarakat kontemporer. Pengunjung didorong untuk berinteraksi dengan para mahasiswa, mengajukan pertanyaan, dan belajar lebih banyak tentang produk yang dipamerkan. Interaksi ini tidak hanya mempromosikan kesadaran tentang praktik arkeologi tetapi juga membantu membangun komunitas yang mendukung disiplin ini.
Keberhasilan bazar mencerminkan potensi dampak dari mata kuliah Arkeopreneurship terhadap kehidupan mahasiswa dan komunitas mereka. Dengan memberdayakan mahasiswa untuk mengambil inisiatif dan mengembangkan keterampilan kewirausahaan mereka, program ini berkontribusi pada tujuan yang lebih luas untuk mengakhiri kemiskinan melalui pendidikan dan praktik berkelanjutan. Hal ini menunjukkan peran institusi akademik dalam membentuk pemimpin masa depan yang siap menghadapi isu sosial yang mendesak.
Sebagai kesimpulan, mata kuliah Arkeopreneurship di UGM merupakan contoh pendekatan pendidikan yang mengintegrasikan keberlanjutan, penguatan kapasitas, dan kewirausahaan. Dengan mempersiapkan mahasiswa untuk praktik arkeologi publik, program ini tidak hanya memperkaya pengalaman akademis mereka tetapi juga berkontribusi pada pengembangan berkelanjuan. Inisiatif ini adalah bukti komitmen universitas untuk membina generasi arkeolog baru yang tidak hanya berpengetahuan tetapi juga bertanggung jawab secara sosial.
Penulis: Sektiadi dibantu SearchUGM/ai
Foto: Sektiadi